Kabupaten Bekasi, Kupasfakta.com – Terungkapnya Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Bekasi pada Kamis lalu menjadi tamparan keras bagi wajah tata kelola pemerintahan Kabupaten Bekasi. Peristiwa ini memantik tanda tanya besar di tengah masyarakat dan lembaga sosial kontrol, khususnya terkait dugaan maraknya proyek tahun anggaran 2025 yang dinilai jauh dari harapan warga sebagai pengguna manfaat.
Gelombang pertanyaan menguat dari berbagai kalangan, mulai dari lembaga swadaya masyarakat hingga insan pers. Sorotan tidak hanya tertuju pada kepala daerah, namun juga merembet ke jajaran teknis, mulai dari instansi pelaksana, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), hingga peran konsultan pengawas dan Inspektorat sebagai pengawas melekat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Isu dugaan pengurangan volume pekerjaan, hingga pelaksanaan proyek di tengah kondisi banjir, semakin menguatkan kecurigaan publik akan lemahnya pengawasan dan potensi praktik menyimpang yang merugikan keuangan daerah.
Ketua DPD Jawa Barat LSM KAMPAK RI (Komite Anti Mafia Peradilan dan Korupsi Republik Indonesia), Indra Pardede, angkat bicara. Ia menyoroti secara khusus Pelaksanaan Pekerjaan Peningkatan Jalan Sukamantri – Kampung Pule yang diduga kuat sarat pelanggaran.
“Pekerjaan ini patut diduga sebagai upaya merampok APBD-P Kabupaten Bekasi Tahun Anggaran 2025,” tegas Indra kepada wartawan.
Proyek tersebut berada di bawah Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga dan Bina Konstruksi Kabupaten Bekasi dengan pagu anggaran sebesar Rp1.897.573.500. Kegiatan dilaksanakan melalui metode E-Purchasing dan dimenangkan oleh CV Mancur Berdikari, dengan nilai kontrak Rp1.728.809.993, sebagaimana tercantum dalam SPMK Nomor: PG.000.3.3/289/SPMK/SPJ-SDABMBK/2025.
Namun, Indra menduga pelaksanaan pekerjaan dilakukan secara tidak profesional dan jauh dari standar teknis. Salah satu temuan krusial adalah proses pengecoran jalan yang dilakukan saat lokasi proyek dalam kondisi tergenang air.
“Pengecoran dilakukan saat banjir, air setinggi sekitar 10 sampai 15 sentimeter. Ini jelas berdampak pada mutu beton karena bercampur air. Kualitasnya patut dipertanyakan,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga menduga pekerjaan tidak sesuai dengan gambar perencanaan, spesifikasi teknis, serta metode kerja yang telah ditetapkan. Kondisi ini, menurut Indra, tidak mungkin terjadi apabila pengawasan berjalan sebagaimana mestinya.
“Kalau konsultan pengawas dan dinas terkait menjalankan fungsinya, mustahil pengecoran dibiarkan berlangsung di lokasi yang masih tergenang air,” tandasnya.
Kasus ini menambah daftar panjang sorotan publik terhadap proyek-proyek infrastruktur di Kabupaten Bekasi, sekaligus memperkuat desakan agar aparat penegak hukum tidak berhenti pada OTT kepala daerah semata, namun menelusuri secara menyeluruh rantai pelaksanaan proyek, termasuk peran pengawas dan rekanan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga dan Bina Konstruksi Kabupaten Bekasi, konsultan pengawas, maupun pihak kontraktor belum memberikan klarifikasi resmi terkait tudingan tersebut. (Roman)












