Kota Bekasi, Kupasfakta.com– Pemerintah Kota Bekasi resmi mencairkan program Rp100 juta per RW. Namun alih-alih disambut euforia, kebijakan ini justru menyisakan cerita unik bahkan ironis. Dengan waktu pencairan yang mepet, para pengurus RW dituntut segera berbelanja dan cepat menyusun laporan pertanggungjawaban.
Situasinya mengingatkan pada acara televisi Uang Kaget: diberi uang, diberi tenggat, lalu ditonton publik apakah mampu membelanjakan dengan “benar”.
Di tengah semangat “RW Berdaya”, muncul fenomena tak lazim. Lima RW di Kota Bekasi memilih tidak mencairkan dana. Di negeri yang lazimnya rebutan anggaran, sikap ini terasa janggal sekaligus menarik.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan, Anggaran, dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Bekasi, Yudianto, membenarkan hal tersebut. Hingga batas waktu pencairan, lima RW dari tiga kelurahan belum menyerap dana.
“Dari total 1.020 RW di Kota Bekasi, penyerapan sudah mencapai 99,5 persen. Masih ada lima RW yang belum mencairkan,” ujarnya.
Kelima RW tersebut adalah RW 06 Kelurahan Kranji, RW 01 Kelurahan Kota Baru, serta RW 01, 09, dan 13 Kelurahan Jatimelati. Soal alasan, BPKAD menyerahkan penelusuran kepada camat dan lurah setempat.
Namun pertanyaan publik sederhana, sekaligus mendalam:
ini kehati-hatian, atau justru cermin regulasi yang belum sepenuhnya terang?
Takut Salah, Bukan Tak Butuh
Sejumlah pengurus RW menyebut rasa khawatir sebagai alasan utama. Bukan takut uangnya, melainkan takut urusan setelah uang cair. Mulai dari mekanisme penggunaan, laporan pertanggungjawaban, hingga bayang-bayang persoalan hukum di kemudian hari.
Di level RW, Rp100 juta bukan angka kecil. Dana itu bisa menjadi berkah pembangunan, tapi juga berpotensi berubah menjadi beban administrasi jika petunjuk teknis tak seterang lampu lalu lintas.
Cerita aparat kewilayahan yang terseret kasus hukum meski niat awalnya baik masih sering menjadi “horor birokrasi” yang dibisikkan di warung kopi.
Regulasi Ada, Rasa Aman Belum Turun
Programnya ada. Anggarannya siap. Tapi rasa aman tidak otomatis ikut turun bersama dana. Sosialisasi dinilai belum menyentuh kegelisahan paling mendasar: siapa yang bertanggung jawab jika terjadi salah tafsir aturan?
Di sinilah ironi muncul. Program yang dirancang untuk mempercepat pembangunan lingkungan justru tertahan oleh kecemasan di tingkat paling bawah. RW yang semestinya fokus mengurus got mampet dan posyandu, kini harus memikirkan risiko audit.
Antara Kesadaran dan Alarm
Menariknya, sikap lima RW ini juga bisa dibaca sebagai bentuk kedewasaan dalam berdemokrasi anggaran. Tidak asal ambil. Tidak silau angka. Mereka memilih aman sebelum nyaman.
Namun di sisi lain, ini juga menjadi alarm keras bagi Pemkot Bekasi. Jika RW saja ragu, berarti ada pekerjaan rumah besar dalam soal kejelasan regulasi dan pendampingan.
Program bagus tanpa panduan teknis yang menenangkan, ibarat kendaraan mewah tanpa buku manual rawan salah pakai.
Catatan Akhir
Apakah lima RW ini berlebihan dalam khawatir? Bisa jadi. Namun di iklim hukum dan birokrasi yang sering terasa abu-abu, kehati-hatian justru terdengar rasional.
Persoalannya bukan pada RW yang tak mau mengambil dana, melainkan pada negara dalam hal ini pemerintah daerah yang belum sepenuhnya membuat warganya merasa aman saat diberi kepercayaan.
Karena di Kota Bekasi hari ini, yang paling langka bukanlah dana Rp100 juta, melainkan kepastian aturan yang menenangkan hati. (Redaksi)












